PLATFORM

AvatarDesign, Art & Creativity resource centre. Knowledge is Power.

Influx Insight Thought Pack Volume 1: Design

Sesudah membaca laporan yang ditulis Influx Insight ini, saya ketawa miris. Saya membayangkan scene desain (industri) di Indonesia. Bagaimana kita seperti sulit memposisi mereka sendiri dan menjadi bulan-bulanan industri. Padahal seperti yang Influx nyatakan, dan ini bukan kali pertama saya mendengar pernyataan ini: eksistensi industri tanpa desain–melalui bentuk apapun- adalah sangat tidak mungkin (saya membayangkan seandainya seluruh desainer di Indonesi (atau di dunia) sepakat untuk mogok kerja dan atau berhenti melayani kebutuhan industri. Dalam waktu beberapa hari saja perekonomian pasti akan hancur).

To prove the effectiveness of design, UK industry body The Design Council did a year analysis of the stock market performance of companies with strong design portfolios (the criteria used was award winning). The finding? Those companies with strong design portfolios performed 200% better than the average for the UK stock market. The data also revealed how the companies with design portfolios managed to ride out the recession better than the others…


Kalau anda pengusaha, laporan ini bisa sangat menginspirasi dalam mengembangkan usaha anda melalui desain. Kalau anda saat ini kebetulan seorang desainer, yang mendambakan perubahan kondisi scene desain industri Indonesia menjadi lebih dari sekarang, download, baca dan forward-lah ke teman,klien dan calon klien anda. Simak: Influx Insight Thought Pack Volume 1: Design.


We Are In Trouble

Senang sekali punya teman yang bisa diajak bukan cuman kerja bareng dan cari duit, tapi juga tukar pikiran. Ricky definitely one of that kind of friends. Meskipun belajar desain secara otodidak, begitu beres kuliah, sampe sekarang Ricky sudah bertahun-tahun menekuni dunia desain grafis ini. Selama hampir dua tahun ini Ricky ada di Kalimantan. Ngedesain properti buat program kampanye penyelamatan hutan dan beruang made (Serius !) yang dikembangin sama satu LSM lokal. Begitu saya kirim surat yang isinya pengen menginventori masalah-masalah yang ada di design scene lokal (yang mudah-mudahan bisa bermanfaat buat -minimal- bikin desainer jadi lebih melek 'masalah' - gak naif dan lebih siap ngerespon dunianya). Santai aja ya...

Ricky wrote:

" .... Bila harus dipetakan, masalah-masalah yang pernah dan masih dialami sebagai praktisi desain grafis non akademis adalah sbb:

1. Komunitas
Buat saya sebagai desainer grafis non akademis sangat memerlukan komunitas untuk bisa saling bertegur sapa dengan 'mahluk' sesama desiner grafis. terutama dalam scene lokal (Bandung). Mungkin bisa mengikuti contoh KPB (Komunitas Pemotret Bandung) yang merupakan komunitas fotografer wedding, yang dalam 4-5 tahun perjalanannya bisa mengikat banyak orang untuk berbuat sesuatu di luar aktivitas utama (memotret wedding).

2. Edukasi
Edukasi untuk desainer non teknis sangat diperlukan. Terutama dari sisi manajerial dan marketing. Naik itu untuk pribadi maupun untuk lembaga aatu perusahaan. Edukasi ini bisa diperoleh dengan gratis bila sesama desainer bisa saling kenal, bertemu dan saling share

3.Kemampuan analisis dan artistik
kemampuan menganalisis masalah yang dihadapi klien atau konsumen menjadi bagian yang penting. Sebagai Solution maker, desainer harus bisa mewujudkan suatu analisis yang tentu sja bisa divisualisasikan dengan artistik. Bagi desainer sekolahan mungkin hal tersebut bukan masalah utama, tapi bagi desainer non akademis, perlu semanagat dan tekad agar bisa mempelajari masalah tersebut.

4.software
Nah ini yang juga mengancam. Semenjak Microsoft dan BSA (Bussiness Software Alliance) melancarkan serangan terhadap software bajakan di Indonesia, bagi desainer yang menggunakan PC dengan software bajakan (dari OS hingga pengolah gambar) hal ini memberi sedikit tekanan. Bagi deasiner dan atau rumah produksi yang memiliki kemampuan modal nampaknya tak masalah untuk membeli software original. Tapi bagi desainer 'kere dan paspasan' USD 2500 untuk sistem komputer desain lengkap sangat memberatkan. Harus mengajak komunitas programmer atau IT serta komunitas open source untuk berbagi...

Jadi masalahnya, apa masalahnya? Sakieu we heula... "

RICKY NUGRAHA



Hal-hal teknis apa saja yang perlu saya ketahui dalam membuat logo?

Buat teman-teman desainer ataupun klien dan ehm; calon klien yang pengen tau lebih banyak tentang logo - terutama hal teknis - Artikel Karen Saunders dari MacGraphic Services: What Do You Need to Know Before You Design Your Own Logo?, barangkali bisa sangat bermanfaat. Saya bisa menambahkan beberapa detail:
  1. Beberapa treatment logo seperti yang ditulis dibawah subjudul “…What elements make a successful logo? Here are 10 logo design…”. Menjadi kebutuhan karena sebuah logo akan membutuhkan ‘pengaturan’ tertentu agar dapat survive ketika diaplikasikan ke lingkungan yang sesungguhnya, yaitu ketika logo akan diletakkan di atas berbagai warna dasar, diatas berbagai format, berbagai media, dengan berbagai kemungkinan ukuran dari segede gajah sampe segede upil.
  2. Kualitas ‘Trendyness’ dalam logo seperti yang disinggung Karen perlu dilihat sebagai sesuatu yang relatif. Sangat tergantung dengan karakteristik konteks dari logo tersebut (profil pemakai-terutama). Tidak ada satu bentuk yang lebih trendy selain bahwa setiap segmen mempunyai dan ‘bounded’ melalui identitas dimana salah satunya adaah; ‘trendiness’.
  3. Aktifitas analisis seperti yang Karen singgung sekilas di salah satu paragrafnya, menurut pengalaman saya mempunyai pengaruh sangat besar dalam perancangan logo (infact, seringkali saya rasakan keseluruhan proses perancangan logo, identitas visual dan kasus-kasus desain - meskipun dalam prakteknya kadang-kadang terlihat intuitif - hampir seluruhnya berbasis di analisa). Sebagian bentuknya bisa dilihat melalui aktifitas berikut ini:

pertama; analisa dalam menetapkan focus dari ‘essence’ yang akan dikomunikasikan (ini dilakukan sebelum desain visual)

kedua; analisa mengenai arahan visual seperti apa yang dibutuhkan agar ‘essence’ dapat dikomunikasikan secara optimal ke publiknya. Ini akan menjadi panduan bagi desainer dan atau graphic stylists dalam mengembangkan dan memilih personalitas (‘trendyness’) grafis yang relevan.

ketiga; analisa dalam menseleksi - dari sekian alternatif- mana hasil akhir yang paling berfungsi optimal. Untuk yang satu ini, analisis yang melibatkan respon dari pihak diluar desainer - internal organisasi dan eksternal (calon publik) melalui FGD, interview, dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun adalah sangat krusial. Pada akhirnya, yang akan menikmati logo bukan hanya desainer dan klien bukan ?

Keempat; analisis dalam memeriksa dan mengembangkan dampak dari pemakaian logo tersebut. Seberapa jauh ketika diaplikasikan dalam lingkungan sesungguhnya, sebuah logo dapat betul-betul ‘berfungsi’ dan menjawab persoalan seperti yang dituju di awal proses. Ada masalah apa saja yang muncul, dan harus mendapatkan perbaikan seperti apa.

Dari sekian detail diatas, kita bisa melihat bahwa sebetulnya terdapat beberapa spesifikasi aktifitas dan ketrampilan teknis yang berbeda yang terlibat dalam perancangan logo. Ketika dikerjakan oleh satu orang, otomatis semua spesifikasi pemikiran dan aktifitas yang berbeda ini akan menjadi beban kerjanya. Berat juga. Kalo pengen lebih komprehensif memang dibutuhkan teamwork khusus (Itulah makanya beberapa studio memutuskan untuk mengkhususkan diri hanya di perancangan logo).

Tapi tentu saja. Tidak ada yang saklek dalam kreatifitas. Jadi point-point diatas bakal menemui relatifitasnya dan memang harus dicermati berdasarkan kualitas dan karakteristik setiap proyek. Pada realitasnya, kita bisa temui sebetulnya terdapat banyak kemungkinan mengenai bagaimana logo dirancang dan dikomunikasikan. Namun sejauh ini artikel Karen tentu saja sangat bisa dimanfaatkan sebagai basic teknis. Ok. Enjoy.


Butuh source ideografi buat desain logo (atau karya yang lain) ?

Sampai saat ini saya percaya bahwa keprigelan desain dari seorang desainer, sama seperti musisi, sastrawan/ penulis, dsb, secara teknis sangat berkaitan dengan vocabulary (symbol dan simbolisasi) yang dimilikinya. Bagaimanapun dampak yang diinginkan dari karya desain, mustahil adanya tanpa keberadaan symbol dan simbolisasi ini. Saya selalu usahakan buat ‘menabung’ vocabulary simbol. Entah itu dalam bentuk buku atau file-file karya digital. Aktifitas ini lumayan bikin frustasi karena secara teknis menyedot budget dan ruang yang besar. Sampai akhirnya, ketika saya mengerjakan kasus (re)desain logo baru-baru ini, saya nemu satu sumber ideografi yang lumayan lengkap (dalam genrenya) yang bisa diakses gratis ;-). Yes, definitely another online invention. Ensiklopedi symbol, lengkap dengan makna, sejarah, hyperlink yang relevan, dan – oh yes, system pencarian berdasarkan karakteristik grafis – bukan cuman teks. It’s really an ultimate resource for western sign & ideogram. Mudah-mudahan bisa bermanfaat juga buat teman-teman. Check it out: www.symbols.com

idn Wants You !











Ada tawaran dari Idn Mag SG, buat yang mau ngirim karya langsung aja kirim ke brian (infekt), email :infekt_design@yahoo.com. Bisa juga taro alamat e-mail ke kotak surat saya (lihat bagian profile) nanti saya forward formulir yang sudah Brian siapin. Ok. Ditunggu (Via Handono Chen).

Tiga Karakter Desain dan Desainer

Sebelumnya saya harus ngomong bahwa pengkategorian ini bukan bermaksud untuk mensubordinasikan atau bahkan mengkonfrontasikan satu kategori dengan yang lainnya. Lebih praktis dari itu, tulisan ini dibuat agar kita punya instrumen tambahan - bagi calon-calon klien dalam memilih jenis desain & desainer yang dibutuhkan, dan bagi desainer; untuk mempelajari dan mengatur posisinya masing-masing.Stefan Sagmeister dan David Carson membedakan desainer kedalam dua karakteristik, sementara saya sendiri mengamati bahwa sedikitnya ada tiga karakteristik besar:

1. Content Driven
Ini satu karakteristik dimana desainer mempunyai kecenderungan dalam mengolah ide dasar dari media, distribusi, dan strategi-strategi lain lebih dari visualisasi 2 dimensional (grafis). Ketika anda menyebutkan kata Poster misalnya, yang ada di kepala desainer ini adalah satu medium khusus dengan format, distribusi, material, teknik produksi, interaksi dan hal lain untuk dieskplorasi. Desainer seperti ini selalu mengerjakan visualisasi di bagian akhir dan hanya sebagai bagian implementasi dari strategi-strategi konseptual. Tidak lebih dari itu. Walhasil, mereka sukar memutuskan untuk loyal pada satu style visualisasi, in fact mereka bisa berkarya dengan banyak kemungkinan style visual. Beberapa kadang bisa secara drastic melompat dari satu karakteristik visual ke karakter visual yang lain.

2. Style driven
Kategori ini justru sangat loyal pada satu karakter visualisasi tertentu. Menganggap style visual tertentu sebagai bagian dari personalitynya, desainer seperti ini bekerja seperti seorang fashion stylists, pelukis atau pegrafis. Berawal dan selalu berfokus pada visualisasi. Ketika anda menyebutkan kata Poster misalnya; mereka langsung membayangkan visualisasinya. Eksplorasi, eksperimen dan studi mengenai graphical form (bentuk/ kemasan dari sebuah makna) menjadi unsure yang paling dominan dalam ketekunannya. Stefan Sagmeister mengklaim bahwa David Carson adalah salah satu model yang tepat bagi spesies ini.

3. Kombinasi dari keduanya
Jenis yang saya maksud disini adalah yang kuat di content dan style visual. Dari kedua kategori diatas spesies ini barangkali yang paling langka. Sampai saat ini saya hanya bertemu dengan sedikit sekali. Barangkali memang lebih mudah untuk berkonsentrasi pada satu hal saja daripada dua hal sekaligus.

Yang tak kalah menarik untuk dicermati menurut saya ialah bahwa pertama; industri desain sampai saat ini tidak banyak menyisakan cukup ruang bagi desainer untuk survive hanya dengan satu cara yang steril dan terkotak di salah satu kategori saja. Pada prakteknya, kita bisa amati bahwa kadang content driven designer juga mendesain dengan - stylistically - visual driven, demikian juga sebaliknya. Jadi tidak sehitam putih itu. Kedua; tidak ada yang lebih ‘baik’ atau ‘benar’ dari keduanya selain bahwa masing-masing punya banyak alasan sehingga sampai di posisi tersebut, dan efektifitas penggunaannya sangat bergantung dengan jenis pekerjaan, segmen audiens, dan medium yang tepat dengannya. Ketiga; Butuh kecermatan khusus dalam melihat seluruh rangkaian portfolio, dan latar belakang kedirian sebelum mengklaim di posisi mana sebetulnya seorang desainer bisa menemukan kekuatan maksimalnya.Yang jelas pemilahan ini bisa dilihat sebagai pemposisian diri, karya dan aktifitas desain. Sehingga klien dan calon klien, desainer, ataupun pengamat bisa memilih, mencoba dan mengerjakan pekerjaanya lebih positif, fokus, strategis dan juga efektif. Mudah-mudahan begitu ya ;-).

Sebelum Proyek Desain Kamu Bermasalah

Saya sendiri pernah mengalaminya dalam skala kecil. Banyak kerja sama desain berujung pada masalah. Beberapa dari itu kemudian menuai konflik yang dramatis dan berkepanjangan. klien atau desainer mengklaim salah satu pihak kurang kreatif, kurang artistic, tidak tertib, malas, tidak jelas, dan lainnya. Ini kejadian tipikal. Tips berikut ini mudah-mudahan dapat membantu:

Know Your Project
Usahakan untuk berpikir jernih, objektif dan betul-betul melihat relevansi kebutuhan dari proyek desain itu. Apakah hal-hal strategis sudah diselesaikan sehingga yang dibutuhkan adalah betul-betul desain visual ? desain visual seperti apa yang akan berdampak optimal bagi proyek ini ? Intinya adalah bahwa proyek akan dapat diinisiasi lebih efektif kalau setiap personel tahu secara spesifik karakteristik dari proyeknya dan tenaga profesional seperti apa yang dibutuhkan Apabila perlu, diskusikan karakter dan kebutuhan proyek dengan konsultan yang relevan.

Know Your Partner
Riset akan sangat berguna dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun. Cari tahu lebih banyak mengenai calon partner.Cermati portfolio (karya dan attitude) nya. Seleksi pertama harus berjalan melalui itu. Simak personalitasnya, be very sensitive. Seringkali masalah muncul karena salah satu atau kedua belah pihak sudah bermasalah sebelum proyek diinisiasi namun gagal dikenali atau dianggap tidak penting (suatu saat kita mungkin harus menamparkan mouse yang kita pegang ke kepala kita sendiri supaya selalu ingat bahwa mempersiapkan dengan cermat segala sesuatunya diawal proses akan jauh lebih efektif – seringkali seperti menabung langkah - daripada mempercepat pengerjaan proyek tanpa persiapan yang memadai. Come on man. Bade kamarana atuh ?!).
Diskusikan terlebih dahulu secara rinci kebutuhan kreatifitas proyek, karakteristik karya, dan hal-hal yang terkait dengan pengerjaannya, sampai tidak ada satu halpun yang mengganjal. Apabila tidak dapat diusahakan titik temu, tidak usah merasa terbebani. Kadang cara pandang dan kebiasaan kerja yang sudah demikian terpola memang sulit untuk dirubah dalam waktu cepat. It’s humanely ok. Yang jelas, sebelum surat kontrak ditanda tangani, klien atau desainer betul-betul dalam posisi bebas untuk mencari pasangan kreatif dan partner ekonomi-nya ;-). Kalao calon partner researchedly ok, langkah selanjutnya akan lebih mudah dilakukan.

Work with it
Ya. Bekerjalah bersama, berkolaborasilah. Kita harus akui bahwa karya desain by order adalah teamwork. Tidak ada alasan untuk tidak mendengarkan masukan selama didiskusikan secara intensif dan dalam semangat kolaboratif.
Jangan lupa buat pencatatan yang mencukupi. Surat kontrak kerja dan kelengkapan administrasi lain adalah item yang kelihatannya remeh, namun seringkali terbukti fungsional dalam menjaga kerja sama agar tetap berjalan di relnya.

Saya piker selama kedua belah pihak saling mengenali karakter dan posisinya masing-masing, mensiapkan dan memperlakukan segala sesuatu dengan cermat - baik sebelum proyek mulai - ketika proyek sedang berjalan dan sesudah proyek selesai – mendiskusikan segala sesuatunya secara teliti, tidak ada satupun yang dapat melemahkan prospek hasilnya kecuali, well tentu saja, Force Majeur (jangan lupa diskusikan point ini sebelum sign kontrak). Melalui tulisan ini saya ingin mendiskusikan bahwa permasalahan yang utamanya bukanlah waktu atau deadline yang terlalu ketat, bukan biaya yang tidak mencukupi, bukan pula masalah ketidak lengkapan administrasi, kemiskinan kreatifitas atau yang lainnya, melainkan satu kondisi dimana kita gagal melihat desain sebagai sesuatu yang penting dan berharga yang membutuhkan treatment khusus di setiap sisinya. Dalam kondisi ini pantas saja banyak proyek desain bermasalah ;-).

test

it should be a tester