Book: The End of Print David Carson
Book: Tibor Kalman Perverse Optimist
Design Direction: When Design’s just not Enough.
Design Direction: Makhluk Apakah itu ?
Bila kita telah dapat menerima satu paham desain modern bahwa elemen visual, melalui pengaturan tertentu, dapat menyebabkan sebuah perubahan sudut pandang, kepercayaan dan prilaku dari pembacanya, maka tentu kita akan setuju bahwa sekecil apapun, penanganan visualisasi akan mempunyai pengaruh khusus terhadap pembacanya. Dengan begitu, tidak ada satupun sebetulnya dari proses desain yang luput dari perhatian. Infact, semua aktifitas perancangan seharusnya dipertimbangkan berdasarkan relevansinya dengan kualitas perubahan ini.
Faktanya ialah kompleksitas proses desain (dan seperti proses-proses kreatif lainnnya) sangat memungkinkan terjadinya disorientasi yang fatal. Dalam kasus-kasus desain yang melibatkan lebih dari satu media, segmen pembaca, dan lainnya seperti yang telah disebutkan di paragraph sebelum ini, akan ada terlalu banyak gagasan desain, terlalu banyak desainer, material visual, fonts, stock foto, manajemen, administrasi, dan hal-hal lainnya yang membuat kompleksitas dan potensi disorientasi menjadi lebih besar. Dalam kondisi yang semrawut ini tentu saja melakukan proses desain saja tidaklah cukup. Diperlukan satu pengaturan tertentu agar semua proses dan aktifitas desain kembali focus pada tujuan dan berjalan efektif.
‘Art Direction’, ‘Koordinator Artistik’, begitu biasa orang menamai aktifitas ini. Saya sendiri menganggap istilah Design Diredtion lebih relevan. Design Director(s) mengkonduk (sub) aktifitas, menjadi coordinator, fasilitator bagi talent dan aktifitas yang berhubungan (designer, design analysts, graphic stylish, etc), me-menej, melakukan supervisi terhadap perancangan dan implementasinya. Jika desain sering dilafalkan untuk aktifitas perancangan satu media dan atau satu (set) visualisasi didalamnya, Design Direction adalah proses dan hasil akhir yang berusaha menghubungkan setiap elemen desain yang terlibat kedalam system yang lebih besar. Design Direction memungkinkan seluruh proses dan asset desain tersebut ditinjau ulang, di-relevankan, dan diformulasikan. Sehingga pada akhirnya, setiap infrastruktur yang terlibat dalam proses desain menjadi lebih terorganisir, terukur, dan tentu saja lebih efektif. Bila saat ini anda tenga mengalami persis seperti yang tertulis di paragraph awal tulisan ini. Barangkali inilah saatnya anda meningkatkan kualitas desain anda dengan menambahkan Design Direction kepadanya.
Sekilas Prosesnya
Sebagai bagian dari proses komunikasi. Aktifitas pengembangan Design Direction diawali dengan serangkaian riset dan analisa mengenai materi informasi yang hendak disampaikan berikut tujuan dan target-target proses komunikasi tersebut (profitabilitas, brand image/ awareness, dsb). Pada bagian ini, seringkali pemilahan dan pengkategorian informasi harus dilakukan berbarengan dengan studi mengenai profil (calon) pembaca dan juga serangkaian studi komparasi competitor, dsb. Segera sesudah fase ini, serangkaian preliminary design dilakukan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ‘terjemahan’ dari analisis di fase pertama kedalam bentukan visual yang relevan. Kualitas komunikasi identitas, personalitas visual dan relevansinya terhadap strategi, yang menjadi platform komunikasi, dipikirkan secara rinci dalam konteks masing-masing media, distribusi dan lainnya. Karena formula Design Direction akan akan menjadi platform fundamental dan juga teknikal. Relevansi dengan tujuan harus juga dibarengi dengan fleksibilitas khusus terhadap materi-materi tambahan, proses, metode dan improvisasi desain yang kelak dikembangkan oleh desainer dan tenaga kreatif lainnya. Pada prakteknya, aktifitas ini membutuhkan wawasan, skill desain dan kreatifitas dengan kualitas riset, analis dan juga pengintegrasian yang komprehensif. Membutuhkan SDM, dukungan pendanaan, manajemen dan konsentrasi yang tidak main-main. Berita baiknya barangkali ada tiga
Pertama:
bahwa Design Direction bersifat strategis. Pengembangannya dapat dilakukan secara akumulatif, dalam kurun waktu tertentu, sebelum kemudian diaplikasikan dan di-supervisi, dan - setelah rentang waktu tertentu - dilakukan evaluasi. Dengan begitu investasi yang harus dikeluarkan untuk Design Direction pun bersifat akumulatif. Akan habis dalam jangkan waktu yang lama, dengan tentu saja, kemungkinan profit yang lebih terencana.
Kedua:
Cara-cara kreatif dalam mengefektifkan investasi untuk aktifitas ini selalu terbuka. Entah itu melalui pengektifitasan jadwal, riset dan inventori data secara informal, pemakaian metode observasi dan lainnya sangat mungkin dilakukan.
Ketiga:
Melakukan evaluasi dan merencanakan adalah dua sisi dalam koin yang saling berhubungan dalam pengembangan kualitas apapun. Faktor ini akan jauh lebih mendatangkan manfaat positif daripada mengulang-ulang proses yang tidak terkontrol dan semrawut. Seperti yang diceritakan di awal tulisan ini.
Ok. Barangkali sekian dulu untuk saat ini.
Goodluck. Enjoy Your Designlife.
Influx Insight Thought Pack Volume 1: Design
To prove the effectiveness of design, UK industry body The Design Council did a year analysis of the stock market performance of companies with strong design portfolios (the criteria used was award winning). The finding? Those companies with strong design portfolios performed 200% better than the average for the UK stock market. The data also revealed how the companies with design portfolios managed to ride out the recession better than the others…
Kalau anda pengusaha, laporan ini bisa sangat menginspirasi dalam mengembangkan usaha anda melalui desain. Kalau anda saat ini kebetulan seorang desainer, yang mendambakan perubahan kondisi scene desain industri Indonesia menjadi lebih dari sekarang, download, baca dan forward-lah ke teman,klien dan calon klien anda. Simak: Influx Insight Thought Pack Volume 1: Design.
We Are In Trouble
Ricky wrote:
" .... Bila harus dipetakan, masalah-masalah yang pernah dan masih dialami sebagai praktisi desain grafis non akademis adalah sbb:
1. Komunitas
Buat saya sebagai desainer grafis non akademis sangat memerlukan komunitas untuk bisa saling bertegur sapa dengan 'mahluk' sesama desiner grafis. terutama dalam scene lokal (Bandung). Mungkin bisa mengikuti contoh KPB (Komunitas Pemotret Bandung) yang merupakan komunitas fotografer wedding, yang dalam 4-5 tahun perjalanannya bisa mengikat banyak orang untuk berbuat sesuatu di luar aktivitas utama (memotret wedding).
2. Edukasi
Edukasi untuk desainer non teknis sangat diperlukan. Terutama dari sisi manajerial dan marketing. Naik itu untuk pribadi maupun untuk lembaga aatu perusahaan. Edukasi ini bisa diperoleh dengan gratis bila sesama desainer bisa saling kenal, bertemu dan saling share
3.Kemampuan analisis dan artistik
kemampuan menganalisis masalah yang dihadapi klien atau konsumen menjadi bagian yang penting. Sebagai Solution maker, desainer harus bisa mewujudkan suatu analisis yang tentu sja bisa divisualisasikan dengan artistik. Bagi desainer sekolahan mungkin hal tersebut bukan masalah utama, tapi bagi desainer non akademis, perlu semanagat dan tekad agar bisa mempelajari masalah tersebut.
4.software
Nah ini yang juga mengancam. Semenjak Microsoft dan BSA (Bussiness Software Alliance) melancarkan serangan terhadap software bajakan di Indonesia, bagi desainer yang menggunakan PC dengan software bajakan (dari OS hingga pengolah gambar) hal ini memberi sedikit tekanan. Bagi deasiner dan atau rumah produksi yang memiliki kemampuan modal nampaknya tak masalah untuk membeli software original. Tapi bagi desainer 'kere dan paspasan' USD 2500 untuk sistem komputer desain lengkap sangat memberatkan. Harus mengajak komunitas programmer atau IT serta komunitas open source untuk berbagi...
Jadi masalahnya, apa masalahnya? Sakieu we heula... "
RICKY NUGRAHA
Hal-hal teknis apa saja yang perlu saya ketahui dalam membuat logo?
- Beberapa treatment logo seperti yang ditulis dibawah subjudul “…What elements make a successful logo? Here are 10 logo design…”. Menjadi kebutuhan karena sebuah logo akan membutuhkan ‘pengaturan’ tertentu agar dapat survive ketika diaplikasikan ke lingkungan yang sesungguhnya, yaitu ketika logo akan diletakkan di atas berbagai warna dasar, diatas berbagai format, berbagai media, dengan berbagai kemungkinan ukuran dari segede gajah sampe segede upil.
- Kualitas ‘Trendyness’ dalam logo seperti yang disinggung Karen perlu dilihat sebagai sesuatu yang relatif. Sangat tergantung dengan karakteristik konteks dari logo tersebut (profil pemakai-terutama). Tidak ada satu bentuk yang lebih trendy selain bahwa setiap segmen mempunyai dan ‘bounded’ melalui identitas dimana salah satunya adaah; ‘trendiness’.
- Aktifitas analisis seperti yang Karen singgung sekilas di salah satu paragrafnya, menurut pengalaman saya mempunyai pengaruh sangat besar dalam perancangan logo (infact, seringkali saya rasakan keseluruhan proses perancangan logo, identitas visual dan kasus-kasus desain - meskipun dalam prakteknya kadang-kadang terlihat intuitif - hampir seluruhnya berbasis di analisa). Sebagian bentuknya bisa dilihat melalui aktifitas berikut ini:
pertama; analisa dalam menetapkan focus dari ‘essence’ yang akan dikomunikasikan (ini dilakukan sebelum desain visual)
kedua; analisa mengenai arahan visual seperti apa yang dibutuhkan agar ‘essence’ dapat dikomunikasikan secara optimal ke publiknya. Ini akan menjadi panduan bagi desainer dan atau graphic stylists dalam mengembangkan dan memilih personalitas (‘trendyness’) grafis yang relevan.
ketiga; analisa dalam menseleksi - dari sekian alternatif- mana hasil akhir yang paling berfungsi optimal. Untuk yang satu ini, analisis yang melibatkan respon dari pihak diluar desainer - internal organisasi dan eksternal (calon publik) melalui FGD, interview, dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun adalah sangat krusial. Pada akhirnya, yang akan menikmati logo bukan hanya desainer dan klien bukan ?
Keempat; analisis dalam memeriksa dan mengembangkan dampak dari pemakaian logo tersebut. Seberapa jauh ketika diaplikasikan dalam lingkungan sesungguhnya, sebuah logo dapat betul-betul ‘berfungsi’ dan menjawab persoalan seperti yang dituju di awal proses. Ada masalah apa saja yang muncul, dan harus mendapatkan perbaikan seperti apa.
Dari sekian detail diatas, kita bisa melihat bahwa sebetulnya terdapat beberapa spesifikasi aktifitas dan ketrampilan teknis yang berbeda yang terlibat dalam perancangan logo. Ketika dikerjakan oleh satu orang, otomatis semua spesifikasi pemikiran dan aktifitas yang berbeda ini akan menjadi beban kerjanya. Berat juga. Kalo pengen lebih komprehensif memang dibutuhkan teamwork khusus (Itulah makanya beberapa studio memutuskan untuk mengkhususkan diri hanya di perancangan logo).
Tapi tentu saja. Tidak ada yang saklek dalam kreatifitas. Jadi point-point diatas bakal menemui relatifitasnya dan memang harus dicermati berdasarkan kualitas dan karakteristik setiap proyek. Pada realitasnya, kita bisa temui sebetulnya terdapat banyak kemungkinan mengenai bagaimana logo dirancang dan dikomunikasikan. Namun sejauh ini artikel Karen tentu saja sangat bisa dimanfaatkan sebagai basic teknis. Ok. Enjoy.
Butuh source ideografi buat desain logo (atau karya yang lain) ?
idn Wants You !
Ada tawaran dari Idn Mag SG, buat yang mau ngirim karya langsung aja kirim ke brian (infekt), email :infekt_design@yahoo.com. Bisa juga taro alamat e-mail ke kotak surat saya (lihat bagian profile) nanti saya forward formulir yang sudah Brian siapin. Ok. Ditunggu (Via Handono Chen).
Tiga Karakter Desain dan Desainer
1. Content Driven
Ini satu karakteristik dimana desainer mempunyai kecenderungan dalam mengolah ide dasar dari media, distribusi, dan strategi-strategi lain lebih dari visualisasi 2 dimensional (grafis). Ketika anda menyebutkan kata Poster misalnya, yang ada di kepala desainer ini adalah satu medium khusus dengan format, distribusi, material, teknik produksi, interaksi dan hal lain untuk dieskplorasi. Desainer seperti ini selalu mengerjakan visualisasi di bagian akhir dan hanya sebagai bagian implementasi dari strategi-strategi konseptual. Tidak lebih dari itu. Walhasil, mereka sukar memutuskan untuk loyal pada satu style visualisasi, in fact mereka bisa berkarya dengan banyak kemungkinan style visual. Beberapa kadang bisa secara drastic melompat dari satu karakteristik visual ke karakter visual yang lain.
2. Style driven
Kategori ini justru sangat loyal pada satu karakter visualisasi tertentu. Menganggap style visual tertentu sebagai bagian dari personalitynya, desainer seperti ini bekerja seperti seorang fashion stylists, pelukis atau pegrafis. Berawal dan selalu berfokus pada visualisasi. Ketika anda menyebutkan kata Poster misalnya; mereka langsung membayangkan visualisasinya. Eksplorasi, eksperimen dan studi mengenai graphical form (bentuk/ kemasan dari sebuah makna) menjadi unsure yang paling dominan dalam ketekunannya. Stefan Sagmeister mengklaim bahwa David Carson adalah salah satu model yang tepat bagi spesies ini.
3. Kombinasi dari keduanya
Jenis yang saya maksud disini adalah yang kuat di content dan style visual. Dari kedua kategori diatas spesies ini barangkali yang paling langka. Sampai saat ini saya hanya bertemu dengan sedikit sekali. Barangkali memang lebih mudah untuk berkonsentrasi pada satu hal saja daripada dua hal sekaligus.
Yang tak kalah menarik untuk dicermati menurut saya ialah bahwa pertama; industri desain sampai saat ini tidak banyak menyisakan cukup ruang bagi desainer untuk survive hanya dengan satu cara yang steril dan terkotak di salah satu kategori saja. Pada prakteknya, kita bisa amati bahwa kadang content driven designer juga mendesain dengan - stylistically - visual driven, demikian juga sebaliknya. Jadi tidak sehitam putih itu. Kedua; tidak ada yang lebih ‘baik’ atau ‘benar’ dari keduanya selain bahwa masing-masing punya banyak alasan sehingga sampai di posisi tersebut, dan efektifitas penggunaannya sangat bergantung dengan jenis pekerjaan, segmen audiens, dan medium yang tepat dengannya. Ketiga; Butuh kecermatan khusus dalam melihat seluruh rangkaian portfolio, dan latar belakang kedirian sebelum mengklaim di posisi mana sebetulnya seorang desainer bisa menemukan kekuatan maksimalnya.Yang jelas pemilahan ini bisa dilihat sebagai pemposisian diri, karya dan aktifitas desain. Sehingga klien dan calon klien, desainer, ataupun pengamat bisa memilih, mencoba dan mengerjakan pekerjaanya lebih positif, fokus, strategis dan juga efektif. Mudah-mudahan begitu ya ;-).
Sebelum Proyek Desain Kamu Bermasalah
Know Your Project
Usahakan untuk berpikir jernih, objektif dan betul-betul melihat relevansi kebutuhan dari proyek desain itu. Apakah hal-hal strategis sudah diselesaikan sehingga yang dibutuhkan adalah betul-betul desain visual ? desain visual seperti apa yang akan berdampak optimal bagi proyek ini ? Intinya adalah bahwa proyek akan dapat diinisiasi lebih efektif kalau setiap personel tahu secara spesifik karakteristik dari proyeknya dan tenaga profesional seperti apa yang dibutuhkan Apabila perlu, diskusikan karakter dan kebutuhan proyek dengan konsultan yang relevan.
Know Your Partner
Riset akan sangat berguna dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun. Cari tahu lebih banyak mengenai calon partner.Cermati portfolio (karya dan attitude) nya. Seleksi pertama harus berjalan melalui itu. Simak personalitasnya, be very sensitive. Seringkali masalah muncul karena salah satu atau kedua belah pihak sudah bermasalah sebelum proyek diinisiasi namun gagal dikenali atau dianggap tidak penting (suatu saat kita mungkin harus menamparkan mouse yang kita pegang ke kepala kita sendiri supaya selalu ingat bahwa mempersiapkan dengan cermat segala sesuatunya diawal proses akan jauh lebih efektif – seringkali seperti menabung langkah - daripada mempercepat pengerjaan proyek tanpa persiapan yang memadai. Come on man. Bade kamarana atuh ?!).
Diskusikan terlebih dahulu secara rinci kebutuhan kreatifitas proyek, karakteristik karya, dan hal-hal yang terkait dengan pengerjaannya, sampai tidak ada satu halpun yang mengganjal. Apabila tidak dapat diusahakan titik temu, tidak usah merasa terbebani. Kadang cara pandang dan kebiasaan kerja yang sudah demikian terpola memang sulit untuk dirubah dalam waktu cepat. It’s humanely ok. Yang jelas, sebelum surat kontrak ditanda tangani, klien atau desainer betul-betul dalam posisi bebas untuk mencari pasangan kreatif dan partner ekonomi-nya ;-). Kalao calon partner researchedly ok, langkah selanjutnya akan lebih mudah dilakukan.
Work with it
Ya. Bekerjalah bersama, berkolaborasilah. Kita harus akui bahwa karya desain by order adalah teamwork. Tidak ada alasan untuk tidak mendengarkan masukan selama didiskusikan secara intensif dan dalam semangat kolaboratif.
Jangan lupa buat pencatatan yang mencukupi. Surat kontrak kerja dan kelengkapan administrasi lain adalah item yang kelihatannya remeh, namun seringkali terbukti fungsional dalam menjaga kerja sama agar tetap berjalan di relnya.
Saya piker selama kedua belah pihak saling mengenali karakter dan posisinya masing-masing, mensiapkan dan memperlakukan segala sesuatu dengan cermat - baik sebelum proyek mulai - ketika proyek sedang berjalan dan sesudah proyek selesai – mendiskusikan segala sesuatunya secara teliti, tidak ada satupun yang dapat melemahkan prospek hasilnya kecuali, well tentu saja, Force Majeur (jangan lupa diskusikan point ini sebelum sign kontrak). Melalui tulisan ini saya ingin mendiskusikan bahwa permasalahan yang utamanya bukanlah waktu atau deadline yang terlalu ketat, bukan biaya yang tidak mencukupi, bukan pula masalah ketidak lengkapan administrasi, kemiskinan kreatifitas atau yang lainnya, melainkan satu kondisi dimana kita gagal melihat desain sebagai sesuatu yang penting dan berharga yang membutuhkan treatment khusus di setiap sisinya. Dalam kondisi ini pantas saja banyak proyek desain bermasalah ;-).